Penobatan dan Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX 1940


Foto ini merupakan kirab pada acara Jumenengan (penobatan) Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pada 18 Maret 1940. Raja sekaligus negarawan yang kelak dikenal dengan Tahta untuk Rakyat ini, begitu kharismatik, merakyat dan disegani terutama Belanda.

"Yogyakarta menjadi termahsyur oleh karena jiwa kemerdekaannya. Hiduplah terus jiwa kemerdekaan itu" (Soekarno). Bahkan sebelum menjadi seorang raja, sifat dan sikap sebagai seorang negarawan ia tunjukan ketika Belanda menyodorkan draft kontrak politik, sebagai prasyarat penobatan dirinya menjadi Sultan Yogyakarta.

Kontrak politik ini lazim dilakukan sebagaimana raja-raja sebelumnya. Setidaknya proses negosiasi yang dilakukan Belanda berlangsung selama 4 bulan. Sikap ini menunjukan bahwa proses negosiasi berlangsung dalam kesetaraan.

Gubernur Dr. Lucien Adam sebagai wakil Belanda pun tak mampu merayu sang calon raja itu, hingga setiap perundingan selalu berakhir dengan kebuntuan. GRM Dorodjatun menolak segera penandatangan kontrak politik dengan Belanda dikarenakan tiga hal, yaitu; mengenai Pepatih Dalem, Dewan Penasihat, dan Prajurit.

Mengenai Prajurit Dorodjatun dengan tegas menolak keinginan Belanda yang menghendaki prajurit keraton sebagai legiun yang berada dibawah KNIL, dimana Kasultanan tidak dapat memerintahnya, namun harus menggaji serta merekrut mereka. Begitulah, selama 4 bulan lamanya sikap GRM Dorodjatun akhirnya melunak, konon, sikap ini dilakukan Dorodjatun setelah mendapatkan bisikan gaib yang diyakini dari leluhurnya, dan bersedia menandatangani kontrak politik itu pada upacara Tratag Prabayeksa. Hingga akhirnya Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Foto: kitlv.nl. Sumber: http://www.imgrum.org/media/1231056806596374077_2166640058


0 Komentar untuk "Penobatan dan Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX 1940"

Back To Top